Istihsan Dan Maslahat Mursalat
Makalah ini disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Fikih dan Ushul Fikih
Disusun oleh:
1. Ahmad Nasihun Amin (16490017)
2. Afifatur Rohmah (16490023)
Prodi/kelas : Manajemen Pendidikan Islam/A
PROGRAM STUDI MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA
2016
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Ilmu Ushul Fiqih merupakan salah satu intsrumen penting yang harus dipenuhi oleh siapapun yang ingin melakukan mekanisme ijtihad dan istinbath hukum dalam Islam. Itulah sebabnya dalam pembahasan kriteria seorang mujtahid, penguasaan akan ilmu ini dimasukkan sebagai salah satu syarat mutlaknya untuk menjaga agar proses ijtihad dan istinbath tetap berada pada koridor yang semestinya. Meskipun demikian, ada satu fakta yang tidak dapat dipungkiri bahwa penguasaan Ushul Fiqih tidaklah serta merta menjamin kesatuan hasil ijtihad dan istinbath para mujtahid. Disamping faktor eksternal Ushul Fiqih itu sendiri, seperti penentuan keshahihan suatu hadits misalnya, internal Ushul Fiqih sendiri pada sebagian masalahnya mengalami perdebatan (ikhtilaf) di kalangan para Ushuliyyin. Inilah yang kemudian dikenal dengan istilah al-Adillah (sebagian ahli Ushul menyebutnya: al-Ushul al-Mukhtalaf fiha, atau “Dalil-dalil yang diperselisihkan penggunaannya” dalam penggalian dan penyimpulan hukum.
Makalah ini akan menguraikan tentang hakikat Istihsan dan maslahah mursalah yang mencakup pengertian, macam-macamnya, dan contoh-contoh produk hukumnya.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari Istihsan?
2. Apa dasar hukum Isihsan?
3. Apa saja macam-macam Istihsan?
4. Apa pengertian maslahat mursalat?
5. Apa syarat maslahat Mursalat
6. Apa saja macam-macam maslahat mursalat?
BAB II
PEMBAHASAN
1. ISTIHSAN
A. Pengertian
Istihsan menurut bahasa berarti menganggap baik atau mencari yang baik. Menurut ulama’ ushul fiqh ialah meninggalkan hukum yang telah ditetapkan pada suatu peristiwa atau kejadian yang ditetapkan berdasar dalil syara’ menuju (menetapkan) hukum lain dari peristiwa atau kejadian itu juga, karena ada suatu dalil syara’ yang mengharuskan untuk meninggalkan. Dalil yang terakhir disebut sandaran istihsan.
Adapun pengertian istihsan menurut istilah, ada beberapa definisi yang dirumuskan ulama’ ushul. Diantara definisi itu ada yang berbeda akibat adanya perbedaan titik pandang. Ada juga definisi yang disepakati semua pihak, namun diantaranya ada yang diperselisihkan dalam pengamalannya.
1. Ibnu Subki mengajukan dua rumusan definisi, yaitu:
عُدُوْلٌ عَنْ قِيَاسٍ اِلَى قِيَاسٍ اَقْوَى مِنْهُ
Beralih dari penggunaan suatu qiyas kepada qiyas lain yang lebih kuat dari padanya (qiyaspertama).
عُدُوْلُ عَنِ الدَّلِيْلِ اِلَى الْعَادَةِ لِلْمِصْلَحَةِ
Beralih dari penggunaan sebuah dalil kepeda adat kebiasaan karena suatu kemaslahatan
Ibnu Subki menjelaskan bahwa definisi yang pertama tidak diperdebatkan karena yang terkuat diantara dua qiyas harus didahulukan. Sedangkan terhadap definisi yang kedua ada pihak yang menolaknya. Alasannya, bila dapat dipastikan bahwa adat istiadat itu baik karena berlaku seperti itu pada masa Nabi atau sesudahnya, dan tanpa ada penolakan dari Nabi atau dari yang lainnya, tentu ada dalil pendukungnya, baik dalam bentuk nash atau ijma’. Dalam bentuk seperti ini, adat kebenarannya harus diamalkan secara pasti. Namun bila tidak terbukti kebenarannya, maka cara tersebut tertolak secara pasti.
2. Istilah istihsan dikalangan Ulama’ Malikiyah diantaranya adalah sebagaimana yang dikemukakan al-Syatibi (salah seorang pakar Malikiyah):
وَهثوَ فِى مَذْهَبٍ مَالِكِ الْأَخْدُ بِمَصْلَحَةٍ جُزْئِيَّةٍ فِى مُقَابَلَةِ دَلِيْلٍ كُلِّيٍّ
Istihsan dalam madzhab Maliki adalah menggunakan kemaslahatan yang bersifa tjuz’I sebagai pengganti dalil yang bersifat kulli
Definisi diatas mengandung arti bahwa seorang mujahid semestinya menetapkan hukum dengan berpedoman kepada dalil yang ada yang bersifat umum. Namun karena dalam keadaan tertentu mujahid tersebut melihat adanya kemaslahatan yang bersifat khusus, maka ia dalam menetapkan hukum tidak berpedoman kepada dalil umum yang ada, tetapi menggunakan kemaslahatan atau kepentingan yang bersifat khusus.
3. Dikalangan ulama’ Hanabilah terdapat tiga definisi sebagaimana dikemukakan oleh Ibn Qudamah:
اَلْعَدْلُ بِحُكْمِ الْمَسْئَلَةِ عَنْ نَظَائِرِهَا لِدَلِيْلٍ خَاصٍ مِنْ كِتَابٍ اَوْ سُنَّةٍ
Beralihlah mujahid dalam menetapkan hukum terhadap suatu masalah dari yang sebanding dengan itu karena adanya dalil khusus dalam al-Qur’an atau sunah
اَنَّهُ مَا يَسْتَحْسِنُهُ الْمُجْتَهِدُ بِعَقْلِهِ
Istihsan itu ialah apa-apa yang dianggap lebih baik oleh seorang mujtahid berdasarkan pemikiran akalnya
دَلِيْلٌ يَنْقَدِحَ فِى نَفْسِ الْمُجْتَهِدُ لَا يَقْدِرُ عَلَى الْتَعْبِيْرِ عَنْهُ
Dalil yang muncul dalam diri mujtahid yang ia tidak mampu menjelaskannya
Dari definisi istihsan pertama yang berlaku dikalangan ulama’ Hanbali tersebut dapat disimpulkan bahwa seorang mujtahid tidak menetapkan hukum sebagaimana yang ditetapkan pada kasus yang sejenis dengan kasus itu adalah karena ia mengikuti dalil lain dari al-Qur’an dan sunah. Terhadap definisi kedua mungkin timbul keberatan dari ulama’ lain karena apa yang dianggap mujahid lebih baik menurut akalnya itu belum tentu lebih baik menurut kenyataannya. Terhadap definisi ketiga juga mungkin timbul sanggahan, sebagaimana dikemukakan Ibnu Subki yang mengatakan bahwa jika dalil yang muncul dalam diri mujahid itu nyata adanya, maka cara tersebut dapat diterima dan tidak ada kesukaran dalam menjelaskan dalil itu, tetapi bila dalil tersebut tidak betul, maka cara istihsan seperti itu tertolak.
B. Dasar hukum istihsan
Dasar Istihsan terdapat dalam al-Qur’an dan Hadis Rasulullah SAW antara lain:
1. Dasar dalam al-Qur’an
اَلَّذِيْنَ يَسْتَمِعُوْنَ الْقَوْلَ فَيَتَّبِعُوْنَ اَحْسَنَهُ اُوْلَئِكَ الَّذِيْنَ هَدَاهُمُ اللهُ وَاُوْلَئِكَ هُمْ اُوْلُواالْأَلْبَابِ
Artinya “ Yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik diantaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal.”(Q.S Az-Zumar:18)
Maksudnya ialah mereka yang mendengarkan ajaran-ajaran al-Qur’an karena ia adalah yang paling baik.
2. Dasar dalamHadis
عن انس رضي الله عنه قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : "خير دينكم ايسره وخير العبادة الفقه" (رواه ابن عبد البر)
Anas Ra berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Sebaik-baiknya agamamu adalah yang lebih mudah ajarannya, dan sebaik-baiknya ibadah adalah yang dipahami syarat rukunnya.” (H.R. Ibnu Abdul Bar).
C. Macam-macam istihsan
Ditinjau dari segi pengertian istihsan menurut ulama’ ushul fiqh, maka istihsan terbagi atas dua macam , yaitu:
1. Pindah dari qiyas jalli kepada qiyas khafi, karena ada dalil yang mengharuskan pemindahan itu
2. Pindah dari hukum kulli kepada hukum juz’i, karena ada dalil yang mengharuskannya. Istihsan semacam ini oleh madzhab Hanafi disebut istihsan darurat, karena penyimpangan itu dilakukan karena sesuatu kepentingan atau karena darurat.
Ditinjau dari segi sandarannya, maka istihsan terbagi menjadi empat macam , yaitu:
1. Istihsan dengan sandaran qiyas khafi
Dalam hal ini mujtahid meninggalkan qiyas yang pertama karena ia menemukan bentuk qiyas yang lain, meskipun qiyas yang lain itu dari satu segi memiliki kelemahan, namun dari segi pengaruhnya terhadap kemaslahatan lebih tinggi. Cara seperti ini oleh mujtahid dinilai sebagai cara terbaik dalam menentukan hukum. Dengan demikian, meggunakan istihsan berarti berdalil dengan qiyas khafi. Istihsan seperti ini disebut istihsan qiyas
2. Istihsan dengan sandaran nash
Dalam hal ini mujtahid dalam menetapkan hukum tidak jadi menggunakan qiyas atau cara biasa karena ada nash yang menuntunnya. Umpamanya dalam masalah jual beli salam (pesanan atau inden). Pada saat berlangsung jual beli, barang yang diperjualbelikan itu belum ada. Berdasarkan ketentuan umum dan menjad isandaran qiyas menurut biasanya transaksi seperti itu tidak boleh dan tidak sah, karena tidak terpenuhinya salah satu persyaratan jual beli berupa tersedianya barang yang diperjual belikan pada saat berlangsung transaksi. Namun cara seperti ini tidak dipakai karena ada nash yang sudah mengaturnya, yaitu hadis Nabi yang melarang melakukan jual beli terhadap suatu barang yang tidak ada ditempat kecuali pada jual beli salam (pesanan).
Dalam bentuk ini ketentuan umum dan qiyas tidak digunakan dan untuk selanjutnya yang digunakan adalah nash yang mengatur pengecualian itu. Istihsan dalam hal ini disebut Istihsan nash.
3. Istihsan dengan sandaran ‘urf
Dalam hal ini mujtahid tidak menggunakan cara-cara biasa yang bersifat umum tetapi menggunakan cara lain dengan dasar pertimbangan atau sandaran kepada kebiasaan yang telah umum berlaku dalam suatu keadaan. Umpamanya penggunaan pemandian umum (kolam renang). Bagi orang yang menggunakan pemandian umum, biasanya dikenai biaya tertentu dalam bentuk tanda masuk, tanpa diperhtungkan banyaknya air yang dipakainya dan lama waktu yang digunakannya. Hal ini sudah merupakan kebiasaan yang umum yang berlaku dimana saja.
Kalau dikembalikan ke hukum umum, maka sulit untuk dapat diterima, karena sudah ada ketentuan umum yang hatus diikuti. Kalau dalam kasus ini mengikuti ketentuan jual beli, tentu menyalahi ketentuan, karena dalam jual beli itu untuk ada ruang yang ditentukan harus tertentu pula air yang digunakan, padahal dalam cara pemandian umum tidak berlaku yang demikian. Kalau mengikuti ketentuan sewa-menyewa yaitu tertentunya waktu pemakaian barang yang disewa, padahal dalam pemandian umum tidak ada batas waktu. Dengan demikian ketentuan umum jual beli dan sewa-menyewa ditinggalkan karena menyandar kepada adat kebiasaan yang berlaku dan diterima semua pihak. Istihsan dalam bentuk ini disebut istihsan al-‘urf.
4. Istihsan dengan sandaran keadaan darurat
Dalam hal ini mujtahid tidak menggunakan dalil yang secara umum harus diikuti karena adanya keadaan darurat yang menghendaki pengecualian. Umpamanya tidak berlakunya hukuman potong tangan terhadap pencuri karena pencurian itu dilakukan untuk mempertahankan hidup atau darurat. Istihsan seperti ini disebut istihsan ad-dharurah.
2. Maslahah Mursalah
A. Pengertian Maslahah Mursalah
Kata mashlahah memiliki dua arti, yaitu: maslahah berarti manfa’at baik secara timbangan kata yaitu sebagai masdar, maupun secara makna dan Maslahah fi’il (kata kerja) yang mengandung ash-Shalah yang bermakna an-naf’u. Dengan demikian, mashlahah jika melihat arti ini merupakan lawan kata dari mafsadah. Maslahat kadang disebut pula dengan ( الاستصلاح ) yang berarti mencari yang baik ( طلب الاصلاح).
Menurut istilah ulama ushul ada bermacam-macam ta`rif yang diberikan di antaranya: Imam Ar-Razi mendefinisikan mashlahah yaitu perbuatan yang bermanfaat yang telah ditujukan oleh syari’ (Allah) kepada hamba-Nya demi memelihara dan menjaga agamanya, jiwanya, akalnya, keturunannya dan harta bendanya. Imam Al-Ghazali mendefinisikan sebagai berikut: Maslahah pada dasarnya ialah meraih manfaat dan menolak madarat. Selanjutnya is menegaskan maksud dari statemen di atas bahwa maksudnya adalah menjaga maqasid as-syari’ah yang lima, yaitu agama, jiwa, akal, nasab, dan harta. Selanjutnya ia menegaskan, setiap perkara yang ada salah satu unsur dari maqashid as-syari’ah maka ia disebut mashlahah. Sebaliknya jika tidak ada salah satu unsur dari maqashid as-syari’ah, maka ia merupakan mafsadat, sedang mencegahnya adalah mashlahah.
B. Syarat-syarat Maslahah Mursalah
Golongan yang mengakui kehujjahan maslahah mursalah dalam pembentukan hukum (Islam) telah mensyaratkan sejumlah syarat tertentu yang dipenuhi, sehingga maslahah tidak bercampur dengan hawa nafsu, tujuan, dan keinginan yang merusakkan manusia dan agama. Sehingga seseorang tidak menjadikan keinginannya sebagai ilhamnya dan menjadikan syahwatnya sebagai syari`atnya. Syarat-syarat itu adalah sebagai berikut:
1. Maslahah itu harus hakikat, bukan dugaan, Ahlul hilli wal aqdi dan mereka yang mempunyai disiplin ilmu tertentu memandang bahwa pembentukan hukum itu harus didasarkan pada maslahah hakikiyah yang dapat menarik manfaat untuk manusia dan dapat menolak bahaya dari mereka. Maka maslahah-maslahah yang bersifat dugaan, sebagaimana yang dipandang sebagian orang dalam sebagian syari`at, tidaklah diperlukan, seperti dalih mashlahah yang dikatakan dalam soal larangan bagi suami untuk menalak isterinya, dan memberikan hak talak tersebut kepada hakim saja dalam semua keadaan. Sesungguhnya pembentukan hukum semacam ini menurut pandangan kami tidak mengandung terdapat maslahah. Bahkan hal itu dapat mengakibatkan rusaknya rumah tangga dan masyarakat, hubungan suami dengan isterinya ditegakkan di atas suatu dasar paksaan undang-undang, tetapi bukan atas dasar keikhlasan, kasih sayang, dan cinta-mencintai.
2. Maslahah harus bersifat umum dan menyeluruh, tidak khusus untuk orang tertentu dan tidak khusus untuk beberapa orang dalam jumlah sedikit. Imam-Ghazali memberi contoh tentang maslahah yang bersifat menyeluruh ini dengan suatu contoh: orang kafir telah membentengi diri dengan sejumlah orang dari kaum muslimin. Apabila kaum muslimin dilarang membunuh mereka demi memelihara kehidupan orang Islam yang membentengi mereka, maka orang kafir akan menang, dan mereka akan memusnahkan kaum muslimin seluruhnya. Dan apabila kaum muslimin memerangi orang islam yang membentengi orang kafir maka tertolaklah bahaya ini dari seluruh orang Islam yang membentengi orang kafir tersebut. Demi memlihara kemaslahatan kaum muslimin seluruhnya dengan cara melawan atau memusnahkan musuh-musuh mereka.
3. Maslahah itu harus sejalan dengan tujuan hukum-hukum yang dituju oleh syari`.Maslahah tersebut harus dari jenis maslahah yang telah didatangkan oleh Syari`. Seandainya tidak ada dalil tertentu yang mengakuinya, maka maslahah tersebut tidak sejalan dengan apa yang telah dituju oleh Islam.
C. Macam-macam Maslahah Mursalah
Maslahat dari segi pembagiannya dapat dibedakan kepada dua macam, yaitu dilihat dari segi tingkatan dan eksistensinya. Dari segi tingkatan kepada tiga bagian,[20] yaitu:
1. Maslahah dharuriyah (Primer).
Maslahah dharuriyah adalah perkara – perkara yang menjadi tempat tegaknya kehidupan manusia, yang bila ditinggalkan, maka rusaklah kehidupan manusia, timbullah fitnah, dan kehancuran yang hebat. Perkara-perkara ini dapat dikembalikan kepada lima perkara, yang merupakan perkara pokok yang harus dipelihara, yaitu:
• Jaminan keselamatan jiwa (al-muhafadzah alan-nafs)
• Jaminan keselamatan akal (al-muhafadzhoh alal-aql)
• Jaminan keselamatan keluarga dan keturunan (al-muhafadzoh alan-nasl)
• Jaminan keselamatan harta benda (al-muhafadzoh alal-maal)
• Jaminan keselamatan agama/kepercayaan (al-muhafadzoh alad-diin)
Kemaslahatan dalam taraf ini mencakup lima prinsip dasar universal dari pensyari’atan atau disebut juga dengan konsep maqosidus syar’i. Jika hal ini tidak terwujud maka tatakehidupan akan timpang kebahagiaan akhirat tak tercapai bahkan siksaan akan mengancam. Oleh karena itu kelima macam maslahat ini harus dipelihara dan dilindungi.
2. Maslahah Hajjiyah (Sekunder).
Maslahah hajjiyah ialah, semua bentuk perbuatan dan tindakan yang tidak terkait dengan dasar yang lain (yang ada pada maslahah dharuriyah) yang dibutuhkan oleh masyarakat tetap juga terwujud, tetapi dapat menghindarkan kesulitan dan menghilangkan kesempitan. Hajjiyah ini tidak rusak dan terancam, tetapi hanya menimbulkan kepicikan dan kesempitan, dan hajjiyah ini berlaku dalam lapangan ibadah, adat, muamalat, dan dan bidang jinayat. Termasuk kategori hajjiyat dalam perkara mubah ialah diperbolehkannya sejumlah bentuk transaksi yang dibutuhkan oleh manusia dalam bermu’amalah, seperti akad muzaro’ah, musaqoh, salam maupun murobahah. Contoh lain dalam hal ibadah ialah bolehnya berbuka puasa bagi musafir, dan orang termasuk dalam hal hajjiyah ini, memelihara kemerdekaan pribadi, kemerdekaan beragama. Sebab dengan adanya kemerdekaan pribadi dan kemerdekaan beragama, luaslah gerak langkah hidup manusia. Melarang/mengharamkan rampasan dan penodongan termasuk juga dalam hajjiyah.
3. Maslahah tahsiniyah atau kamaliyat (Pelengkap/tersier)
Maslahah tahsiniyah ialah mempergunakan semua yang layak dan pantas yang dibenarkan oleh adat kebiasaan yang baik dan dicakup oleh bagian mahasinul akhlak. Kemaslahatan ini lebih mengacu pada keindahan saja ( زينة للحياة) sifatnya hanya untuk kebaikan dan kesempurnaan. Sekiranya tidak dapat diwujudkan atau dicapai oleh manusia tidaklah sampai menyulitkan atau merusak tatanan kehidupan mereka, tetapi ia dipandang penting dandibutuhkan. Tahsiniyahjuga masuk dalam lapanganan ibadah, adat, muamalah, dan bidang uqubah. Lapangan ibadah misalnya kewajiban bersuci dari najis, menutup aurat, memakai pakaian yang baik-baik ketika akan shalat mendekatkan diri kepada Allah melalui amalan-amalan sunah, seperti shalat sunah, puasa sunah, bersedekah dan lain-lain. Lapangan adat, seperti menjaga adat makan, minum, memilih makanan-makanan yang baik-baik dari yang tiak baik/bernajis. Dalam lapangan muamalah, misalnya larangan menjual benda – benda yang bernajis, tidak memberikan sesuatu kepada orang lain melebihi dari kebutuhannya. Dalam lapangaan uqubat, misalnya dilarang berbuat curang dalam timbangan ketika berjual beli, dalam peperangan tidak boleh membunuh wanita, anak-anak, pendeta, dan orang-orang yang sudah lanjut usia. Diantara contoh tahsiniyat yang berkaitan dengan harta ialah diharamkannya memalsu barang. Perbuatan ini tidak menyentuh secara langsung harta itu sendiri (eksistensinya), tetapi menyangkut kesempurnaanya. Hal itu berlawanan kepentingan dengan keinginan membelanjakan harta secara terang dan jelas. Jelaslah bahwa dalam hal itu tidak membuat cacat terhadap pokok harta (ashul mal), akan tetapi berbenturan dengan kepentingan orang yang membelanjakan hartanya, yang mungkin masih bisa dihindari dangan jalan ihtiyath. Seperti juga contoh pensyari ‘atan thoharoh sebelum shalat, anjuran berpakaian dan berpenampilan rapih pengharaman makanan-makanan yang tidak baik dan hal-hal serupa lainnya.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
1. Istihsan adalah meninggalkan hukum yang telah ditetapkan pada suatu peristiwa atau kejadian yang ditetapkan berdasar dalil syara’ menuju (menetapkan) hukum lain dari peristiwa atau kejadian itu juga, karena ada suatu dalil syara’ yang mengharuskan untuk meninggalkan.
2. Maslahat mursalat adalah perbuatan yang bermanfaat yang telah ditujukan oleh syari’ (Allah) kepada hamba-Nya demi memelihara dan menjaga agamanya, jiwanya, akalnya, keturunannya dan harta bendanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar